A.
Natural
History of Leprosy
Morbus Hansen atau lepra atau kusta merupakan penyakit
tertua sekaligus penyakit menular yang sangat menakutkan. Penyakit ini
ditemukan oleh GH Armauer Hansen (Norwegia) pada tahun 1873, dengan menemukan
Mycobacterium leprae sebagai kuman penyebab. Sampai datangnya AIDS, leprae
adalah penyakit yang paling menakutkan daripada penyakit menular lainnya.
Penyakit ini menyesatkan hidup berjuta-juta orang, terutama di Amerika Selatan,
Afrika, dan Asia. Penyakit ini di
Indonesia lebih dikenal dengan penyakit Kusta. Menurut Sub Direktorat Kusta dan
Frambusia Direktorat P2M Ditjen PPM& PL (2000), penyakit kusta merupakan
salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di Indonesia, dimana masih
terdapat 10 propinsi yang angka prevalensinya lebih dari 1/10.000 penduduk.
Prevalensi berkisar 0,14 (Bengkulu) sampai dengan 7,42 (Maluku) .
1.
Pengertian kusta
Istilah
kusta berasal dari Bahasa sansekerta, yakni ”kushtha” berarti kumpulan
gejalagejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada
tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit kusta
adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae
yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo
endotelial, mata, otot, tulang dan testis (Marwali Harahap, 2000). Tidak
seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan
anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath (dalam
injil), yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta (Fina, 2008).
2.
Etiologi
Penyebab penyakit
kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf lurus, batang
panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.
Basil ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah
diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau
alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak
bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran
bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut globi.
Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular
kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan,
kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata
2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta
mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan
bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Marwali
Harahap, 2000).
Menurut Marwali
Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5 sifat, yakni :
1.
Mycobacterium
leprae merupakan parasit
intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan.
2.
Sifat
tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3.
Mycobacterium
leprae merupakan
satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
4.
Mycobacterium
leprae adalah satu-satunya
spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.
5.
Ekstrak
terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen antigenik
yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit positif pada
penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.
3.
Patogenesis
Penyakit Kusta
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran
pernafasan (Sel Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan
adalah penderita kusta yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang
belum diobati. Kuman masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu
saraf tepi. Saat Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan
penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa
tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular
mediated immune) pasien, bila sistem imunitas selular tinggi, penyakit
berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycobacterium
leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu
daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu
sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda.
Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas
infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit
imunologik (Arif Mansjoer, 2000).
4.
Manifestasi
Klinis Penyakit Kusta
Menurut Jimmy Wales (2008), tanda-tanda
tersangka kusta (Suspek) adalah sebagai berikut :
1.
Tanda-tanda pada kulit
2.
Bercak/kelainan
kulit yang merah/putih dibagian tubuh
3.
Kulit
mengkilat
4.
Bercak yang tidak gatal
5.
Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat
atau tidak berambut
6.
Lepuh
tidak nyeri
7.
Tanda-tanda
pada syaraf
8.
Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada
anggota badan
9.
Gangguan gerak anggota badan/bagian muka
10.
Adanya
cacat (deformitas)
11.
Luka
(ulkus) yang tidak mau sembuh
Gejala-gejala kerusakan saraf menurut A.
Kosasih (2008), antara lain adalah :
a.
N. fasialis
Lagoftalmus
b.
N. ulnaris
1) Anastesia
pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis
2) Clawing
kelingking dan jari manis
3) Atrofi
hipotenar dan otot interoseus dorsalis pertama
c.
N. medianus
1) Anastesia
pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
2) Tidak
mampu aduksi ibu jari
3) Clawing
ibu
jari, telunjuk dan jari tengah
4) Ibu
jari kontraktur
d.
N. radialis
1) Anastesia
dorsum manus
2) Tangan
gantung (wrist/hand drop)
3) Tidak
mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
e.
N. poplitea lateralis
Kaki
gantung (foot drop)
f.
N.tibialis posterior
1) Anastesia
telapak kaki
2) Clow
toes
5.
Klasifikasi penyakit Kusta
Klasifikasi berdasarkan Ritley dan Jopling
adalah tipe TT (tuberculoid), BT (borderline tubercoloid), BB (mid
borderline), BL (borderline lepormatous), dan LL (lepromatosa), sedangkan
Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP dan WHO membagi tipe menjadi tipe Pause Basiler
(PB) dan Multi Basiler (MB).
6. Cara Menegakkan Diagnosis
Berdasarkan
WHO pada tahun 1997 yang dikutip dari buku Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/SMF
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya, diagnosis didasarkan
adanya tanda utama atau Cardinal Sign berupa :
1.
Kelainan kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa dengan anastesi yang jelas.
2.
Kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf dengan anastesi.
3.
Hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam.
Diagnosis
ditegakkan bila dijumpai satu tanda utama tersebut diatas.
7. Pengobatan
Tujuan
utama pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah timbulnya
cacat. Sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas
deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan
walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan
adanya resistensi terhadap Dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977
WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak ada dua obat
anti kusta yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti di lapangan dengan
beberapa alasan. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO Study Group on
Chemotherapy of Leprosy secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy). (Marwali Harahap, 2000) Pengobatan
berdasarkan regimen MDT (Multi Drug Therapy) dalam buku Pedoman Diagnosis
dan Terapi BAG/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dokter Soetomo Surabaya
adalah sebagai berikut :
1.
Pausibasiler
· Rifampicine
600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
· DSS
100 mg/hari
Pengobatan
diberikan secara teratur selama 6 bulam dan diselesaikan dalam waktu maksimal
19 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From
Treatment)
2.
Multibasiler
Rifampicine 600 mg/bulan,
dosis supervisi.
Lamprene
300 mg/hari, dosis supervisi.
Ditambahkan
Lamprene 50 mg/hari
DDS
100 mg/hari
Pengobatan
dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan deselesaikan dalam waktu
maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis dinyatakan RFT, meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan BTA (+).
8.
Kecacatan
Kusta
a) Proses terjadinya cacat kusta
Terjadinya
kecacatan tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak.
Kecacatan
pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses yaitu infiltrasi langsung Mycobacterium
leprae ke susunan saraf tepi dan organ lain misalnya mata, dan melalui
reaksi kusta. Fungsi saraf secara umum dikenal ada 3 macam yaitu fungsi motorik
memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensorik memberi rasa raba, fungsi otonom
mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi
tergantung pada komponen saraf yang terkena apakah sensoris, motoris, otonom
maupun kombinasi ketiganya (Ditjen PP & PL, 2006). Berikut adalah tabel
yang memperlihatkan kecacatan karena terganggunya fungsi saraf-saraf tersebut.
Menurut
McDougall (2005), pada pasien kusta biasanya timbul kecacatan pada :
1. Tangan
:
a) Anastesi
pada tangan
b) Clow
hand (jari-jari tangan kiting)
c) Contraktur
d) Absorbsi
(memendeknya jari akibat proses pada tulang)
e) Mutilasi
( putusnya ujung jari, ditandai dengan putusnya kuku)
f) Drop
hand (tangan lunglai)
g) Luka
2. Kaki
:
a. Anastesi
b. Luka
c. Drop
foot
d. Clow
toes
3. Muka
a. Madarosis
(alis mata yang menipis)
b. Lagoptalmus
(mata
tidak mau menutup)
b) Tingkat cacat menurut WHO
Untuk
menilai kualitas penanganan pencegahan cacat maka semua pasien kusta dinilai tingkat
kecacatannya sesuai dengan petunjuk WHO. Hal ini merupakan suatu sistem untuk mengukur
cacat akibat kerusakan saraf sebagai resiko penyakit kusta. Cacat yang terjadi
bukan akibat kusta tidak dihitung. Mata diperiksa apakah kelopak mata sulit
menutup. Tangan diperiksa apakah ada lunglai, mati rasa pada telapak tangan,
luka atau ulkus akibat mati rasa, pemendekan jari atau kelemahan otot. Kaki
diperiksa apakah ada lunglai (semper), mati rasa pada telapak kaki, ulkus atau
pemendekan jari. (Ditjen PP & PL, 2006). Berikut ini merupakan tabel
pembagian tingkat cacat menurut WHO
B.
Three Level of Prevention (primary
prevention, secondary prevention, and tertiary prevention)
Upaya
pencegahan dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan patologis penyakit atau
dengan kata lain sesuai dengan riwayat alamiah penyakit tersebut.
Ada 3 tingkat utama pencegahan :
1. Pencegahan
tingkat pertama (Primary Prevention)
2. Pencegahan
tingkat kedua (Secondary Prevention)
3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary
Prevention)
Tingkat pencegahan 1 pada tahap prepatogenesis dari
riwayat alamiah penyakit
Tingkat pencegahan 2 dan 3 pada tahap patogenesis
penyakit.
Tingkatan pencegahan ini membantu memelihara
keseimbangan yang terdiri dari pencegahan primer, sekunder dan tersier
a. Pencegahan primer (primary Prevention)
Pencegahan primer (primary Prevention) adalah
upaya pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit belum mulai (pd periode
pre-patogenesis) dengan tujuan agar tidak terjadi proses penyakit.
Tujuan: mengurangi insiden penyakit dengan
cara mengendalikan penyebab penyakit dan faktor risikonya.Upaya yang dilakukan adalah untuk memutus mata rantai
infeksi “agent – host - environment”
Terdiri dari:
1. Health
promotion (promosi kesehatan)
2. Specific
protection (perlindungan khusus)
kegiatan yang dilakukan melalui upaya
tersebut adalah :
Health promotion (promosi
kesehatan)
·
Pendidikan kesehatan, penyuluhan
·
Gizi
yang cukup sesuai dengan perkembangan
·
Penyediaan
perumahan yg sehat
·
Rekreasi yg cukup
·
Pekerjaan
yg sesuai
·
Konseling perkawinan
·
Genetika
·
Pemeriksaan kesehatan berkala
Specific protection
(perlindungan khusus ) Imunisasi
·
Kebersihan perorangan
·
Sanitasi lingkungan
·
Perlindungan thdp kecelakaan akibat kerja
·
Penggunaan gizi tertentu
·
Perlindungan terhadap zat yang dapat
menimbulkan kanker
·
Menghindari zat-zat alergenik
b. Pencegahan sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder (Secondary Prevention) adalah upaya
pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit sudah berlangsung namun belum
timbul tanda/gejala sakit (patogenesis awal) dengan tujuan proses penyakit
tidak berlanjut.
Tujuan: menghentikan proses
penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi terdiri dari :
1. deteksi dini
2. pemberian pengobatan (yang
tepat)
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya terebut adalah
Deteksi dini
·
Penemuan kasus (individu atau masal)
·
Skrining
Pemeriksaan
khusus dengan tujuan:
·
Menyembuhkan dan mencegah penyakit berlanjut
·
Mencegah penyebaran penyakit menular
·
Mencegah komplikasi dan akibat lanjutan
·
Memperpendek masa ketidakmampuan
pemberian pengobatan:
·
Pengobatan yang cukup untuk menghentikan
proses penyakit
·
mencegah komplikasi dan sekuele yg lebih parah
·
Penyediaan fasilitas khusus untuk membatasi ketidakmampuan dan mencegah kematian.
c. Pencegahan Tersier (tertiary Prevention)
Pencegahan Tersier (tertiary Prevention) adalah Pencegahan yg dilakukan saat proses penyakit sudah
lanjut (akhir periode patogenesis) dengan tujuan untuk mencegah cacad dan
mengembalikan penderita ke status sehat.
Tujuan: menurunkan
kelemahan dan kecacatan, memperkecil penderitaan dan membantu
penderita-penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak
dapat diobati lagi.
Terdiri dari:
1. Disability limitation
2. Rehabilitation
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya tersebut adalah
:
1. Disability limitation
·
Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjutan
agar tidak terjadi komplikasi.
·
Pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat setelah
sembuh.
·
Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang
untuk pengobatan dan perawatan yang lebih intensif.
·
mengusahakan pengurangan beban beban non medis (
sosial ) pada penderita untuk memungkinkan meneruskan pengobatan dan
perawatannya.
·
Rehabilitasi
·
Penempatan secara selektif
·
Mempekerjakan sepenuh mungkin
·
penyediaan fasilitas untuk pelatihan hingga
fungsi tubuh dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya
·
Pendidikan pada masyarakat dan industriawan
agar menggunakan mereka yang telah direhabilitasi
·
Penyuluhan dan usaha usaha kelanjutan yang harus
tetap dilakukan seseorang setelah ia sembuh.
·
Peningkatan terapi kerja
untuk memungkinkan pengrmbangan kehidupan sosial setelah ia sembuh.
·
Mengusahakan suatu perkampungan rehabilitasi sosial.
·
Penyadaran masyarakat untuk menerima mereka dalam
fase rehabilitasi.
·
Mengembangkan lembaga-lembaga rehabilitasi
C.
Evaluasi Program Pemerintah Terhadap
Kusta
Program
pemberantasan penyakit (P2) kusta di Dinkes KKU dari tahun 2009-2011 sudah
banyak melakukan kegiatan. Seperti penemuan penderita kusta antara lain
penemuan penderita kusta secara aktif maupun pasif. Pembinaan dan
pengobatan penderita kusta selama 6-12 bulan. Pemeriksaan laboratorim
(skinmaer). Pemeriksaan rutin dalam pencegahan reaksi kusta dan obat kusta.
Konfirmasi diagnosis kusta oleh Wakil Supervisor (Wasor) Kusta KKU. Monitoring
pencegahan cacat prevention of disability (POD), pencegahan cacat, dan
pemeriksaan fisik secara rutin. Survei kontak anak sekolah. Penyuluhan terhadap
masyarakat dan peran serta masyarakat tentang penyakit kusta dengan leprosy
elimination champagne (LEC).
Pemeriksaan rutin secara pasif ke penderita kusta yang telah menyelesaikan
pengobatan selama 2-5 tahun. Pelatihan dokter dan pengelola kusta puskesmas.
Pelatihan Wasor kusta kabupaten. Pencatatan, pelaporan, dan manajemen logistik.
Pada umumnya
penderita kusta merasa rendah diri. Merasa tekanan batin. Takut terhadap
penyakitnya dan terjadinya kecacatan. Takut menghadapi keluarga dan masyarakat
karena sikap penerimaan mereka kurang wajar. Segan
berobat karena malu, apatis, karena kecacatan tidak dapat mandiri sehingga
beban bagi orang lain, seperti jadi pengemis, gelandangan. Masalah
terhadap keluarga seperti menjadi panik. Berubah mencari pertolongan termasuk
dukun dan pengobatan tradisional. Keluarga merasa takut diasingkan oleh
masyarakat di sekitarnya. Berusaha menyembunyikan penderita agar tidak
diketahui masyarakat di sekitarnya. Mengasingkan penderita dari keluarga karena
takut ketularan.
Pada umumnya masyarakat mengenal kusta dari tradisi kebudayaan dan agama.
Sehingga pendapat tentang kusta merupakan penyakit sangat menular, tidak dapat
diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, nasjid, dan menyebabkan kecacatan.
Masyarakat mendorong agar penderita dan keluarganya diasingkan. Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar di mana-mana. Maksudnya
mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif,
dan percaya diri. Metode penanggulangan ini
terdiri dari metode pemberantasan dan pengobatan, rehabilitasi.
Terdiri dari rehabilitasi medis, sosial, karya, dan pemasyarakatan yang
merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi. Di mana penderita dan masyarakat
membaur sehingga tidak ada kelompok sendiri. Ketiga metode itu merupakan suatu
sistem saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Guna mengatasi masalah medis
maupun sosial penderita maupun orang yang pernah mengalami penyakit kusta
(OYPMK) maka pelayanan yang dapat diberikan adalah:
1. Pengobatan profilaksis untuk semua kontak penderita penderita baru di
Kabupaten Sampang untuk mencegah penularan dan kecacatan.
2. Penelitian untuk memutus mata rantai penularan penyakit
kusta dilakukan dengan pemeriksaan serologis dan pengobatan pada kontak
penderita kusta maupun OYPMK di Kabupaten Sumenep dan Pasuruan oleh RSK
Sumberglagah Mojokerto bekerjasama dengan ITD (Institute of Tropical Desease) Universitas
Airlangga Surabaya.
3. Penemuan penderita baru, pengobatan kusta, pengobatan
reaksi kusta, pencegahan kecacatan dapat dilakukan di seluruh Puskesmas di Jawa
Timur. Obat tersedia GRATIS di semua Puskesmas (951 Puskesmas) dan 80% petugas
kusta sudah terlatih untuk menangani kusta. Untuk tahun ini penemuan penderita
baru dilakukan di Kabupaten Sampang dengan kegiatan Rapid Village Survey (RVS)
di seluruh desa yang ada (186 desa). Kegiatan serupa juga dilakukan di Sumenep,
Bangkalan, Situbondo dan Pasuruan, tetapi tidak dilakukan secara total di semua
desa.
4. Pengobatan kusta, pengobatan reaksi kusta, rehabilitasi
medis, komplikasi dengan kusta dengan penyakit lain, dll dapat dilakukan secara
GRATIS di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya, Rumah Sakit Kusta Sumberglagah
Mojokerto dan Rumah Sakit Kusta Kediri.
5. Rehabilitasi sosial untuk penderita kusta maupun orang yang pernah mengalami
penyakit kusta dilakukan di Liponsos Babat Jerawat Benowo Kota Surabaya dan Liponsos
Nganget Kabupaten Tuban.
6. Selain itu di Jawa Timur juga ada LSM peduli kusta yaitu
: Yayasan kusta Indonesia (YKI) dan Perkumpulan Mandiri Kusta (PERMATA) yang
berpusat di Kota Surabaya. Kegiatan dari kedua LSM ini adalah memberikan
bantuan pelatihan ketrampilan kerja, bantuan modal kerja, beasiswa bagi anak
penderita atau OYPMK, perbaikan rumah penderita atau OYPMK, dll. Untuk dukungan
pendanaan program P2 Kusta dibantu oleh Netherlands Leprosy Relief.
D.
Prediksi Penyebaran Kusta
Hingga saat ini tak ada vaksinasi untuk penyakit kusta.
Hasil penelitian, kuman kusta yang masih utuh, bentuknya lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan yang tidak utuh. Faktor
pengobatan sangat penting untuk menghancurkan kusta, sehingga penularan dapat
dicegah,”. Pengobatan ke penderita kusta, merupakan salah satu cara pemutusan
mata rantai penularan.
Saat ini telah tersedia obat yang dapat menyembuhkan kusta.
“Sekurang-kurangnya 80 persen dari semua orang, tidak mungkin terkena kusta.
Enam dari tujuh kusta tidaklah menular ke orang lain. Kasus-kasus menular tidak
akan menular, setelah diobati enam bulan atau lebih secara teratur. Diagnosa
dan pengobatan dini dapat mencegah sebagain besar cacat fisik,” .
jadi dapat disimpulkan bahwa penyebaran kusta pada masa yang akan datangakan
semakin menurun mengingat banyaknya usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah
untuk menekan penyebaran dan penderita kusta.
Daftar Pustaka
Djuanda.A.,
Menaldi. SL., Wisesa.TW., dan Ashadi. LN.
(1997). Kusta : diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Djuanda. A.,Djuanda. S., Hamzah. M., dan Aisah.A. (1993). Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Balai Penrbit FKUI